Connect with us

Lifestyle

Apa itu Buzzer Politik? Ini Sejarah dan Bayaranya!

Published

on

Menjelang musim politik fenomena buzzer terus merajalela.

Tapi sebenarnya bukan hanya musim politik, buzzer juga biasanya akan muncul saat sedang membicarakan sebuah topik yang trending atau viral di media sosial.

Misalnya, saat kita main media sosial, sering kali kita menemukan suatu topik yang sedang panas dibicarakan.

Nah, topik yang sedang trending tersebut bisa saja sengaja dibuat oleh sekumpulan buzzer yang memiliki kepentingan tertentu. Karena beragam isu yang berkembang di media sosial seringkali disinyalir turut didengungkan oleh para buzzer.

Apalagi, di era digital yang semakin maju ini, peran buzzer dalam dunia maya semakin terasa krusial.

Apa Itu Buzzer?

Dilansir dari berbagai sumber, istilah buzzer ini mengacu pada individu atau sekelompok orang yang diorganisir untuk menyuarakan isu tertentu dan mempengaruhi opini publik.

Biasanya buzzer menggunakan alatnya melalui media sosial, seperi facebook, instagram, hingga twitter.

Para buzzer yang diorganisir ini akan mendengungkan suara yang sama, sehingga nantinya mereka bisa mempengaruhi pengguna medsos yang lainnya.

Buzzer biasanya punya jaringan luas sehingga mampu menciptakan konten sesuai konteks, cukup persuasif dan digerakkan oleh motif tertentu.

Menurut Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), pola rekruitmen buzzer dilakukan oleh agensi atau biro komunikasi yang memetakan dan mencari akun buzzer sesuai dengan kebutuhannya.

Agensi komunikasi ini juga berperan sebagai penentu tarif, peternak breeder, dan penyedia akun untuk para buzzer. Sementara itu, sumber dana nya berasal dari klien yang menggunakan jasa melalui perantara agensi komuniaksi tersebut.

Sebenarnya, awalnya buzzer itu dimanfaatkan sebagai teknik pemasaran barang atau jasa bernama buzzmarketing. Tugasnya hanya sekedar memasarkan produk komersil dari suatu perusahaan.

Tapi beberapa tahun kemudian, buzzer kini dipakai dalam kontestasi politik. Sehingga maknanya pun berubah menjadi negatif karena terlibat dalam peristiwa politik sehingga memberikan citra yang tidak bagus di mata khalayak.

Setidaknya, ada dua motif utama yang buat seseorang atau akun tertentu menjadi buzzer.

Pertama, motif komersial, artinya, para buzzer tersebut dibayar oleh kelompok tertentu sesuai kepentingan.

Kedua, motif sukarela, biasanya yang ini didorong oleh ideologi atau rasa kepuasan tertentu saja.

Buzzer Politik

Awal pergeseran buzzer ke dalam peristiwa politik terjadi pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012.

Kemudian, pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI tahun 2017, hingga Pilpres 2019, buzzer mulai digunakan lagi secara luas untuk kepentingan politik.

Menurut penelitian berjudul ‘The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation’ yang diterbitkan Universitas Oxford, penggunaan buzzer dalam politik, sudah dilakukan oleh beberapa orang dari seluruh belahan dunia.

Penelitian itu mencatat Sebanyak 89% dari 70 negara yang menjadi subjek penelitiannya, menggunakan buzzer untuk menyerang lawan politiknya.

Indonesia menjadi satu dari 70 negara yang menggunakan  buzzer untuk sejumlah kepentingan sepanjang tahum 2019.

Penelitian itu membeberkan setidaknya ada tiga tujuan yang diincar para buzzer, yakni menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro-partai, menyerang oposisi, hingga membentuk polarisasi.

Masih menurut laporan penelitian tersebut, bayaran buzzer di Indonesia berkisar antara Rp.1-50 juta.

Buzzer di Indonesia dinilai memiliki kapasitas yang rendah karena melibatkan tim yang kecil dan aktif pada momen tertentu saja, misalnya saat pemilihan saja umum.

Aktor-aktor politik mulai menggunakan jasa buzzer profesional untuk melakukan pendekatan terhadap masyarakat melalui pesan-pesan kampanye di media sosial.

Buzzer dinilai bisa ikut mendengungkan isu-isu panas untuk membesarkan branding tokoh politik yang didukung.

Bagikan ini