News
Perlu Aturan Dampak Perubahan Iklim Sebagai Krisis dengan Pendekatan HAM
BANDUNG, GENZPEDIA – Pendekatan HAM secara holistik perlu dilakukan untuk merespon perubahan iklim dan penanggulangan bencana.
Hal itu perlu dimasukkan dalam prioritas di dalam rencana aksi Hak Asasi Manusia (RANHAM).
Pernyataan itu disampaikan sebagai kesimpulan dalam lokakarya yang diselenggarakan Kementerian Hukum dan HAM RI (Kemenkuham), Raoul Wallenberg Institute, dan Pusat Studi Paguyuban Hak Asasi Manusia UNPAD (PAHAM).
Isu perpindahan penduduk akibat bencana dan perubahan iklim adalah juga isu kemanusiaan, di samping isu kebencanaan, karena juga menyangkut kebebasan manusia untuk bergerak dan berpindah tempat.
“Namun pendekatan upaya mitigasi dampak perubahan iklim dan bencana yang ada masih cenderung dari aspek kebencanaan saja, belum dari sisi kemanusiaannya,” kata Dirjen HAM Kemenkumham, Dr. Mualimin Abdi dalam siaran pers yang diterima pada Kamis, 8 Desember 2022.
Akan tetapi, hingga saat ini belum ada kesepakatan dari pemangku kepentingan bahwa perubahan iklim sebagai bencana atau krisis. Padahal ada pertanyaan besar berkaitan pemenuhan HAM masyarakat dalam upaya mitigasi bencana terkait perubahan iklim.
Demham demikian diperlukan pengaturan yang lebih tegas mengenai pendekatan HAM dalam perubahan iklim dan penanggulangan bencana ke tingkat pelaksanaan di daerah. Termasuk haluan kebijakan, peraturan, dan pedoman teknis yang akan diadopsi dengan jelas.
Peneliti PAHAM, Chloryne Dewi, LL.M. merespon terhadap ketiadaan pendekatan HAM dalam kerangka hukum terkait mobilitas penduduk akibat bencana dan perubahan iklim.
Dengan mendorong identifikasi aspek HAM dalam mobilitas penduduk dan dampak perubahan iklim pada masyarakat serta pengadopsian indikator pemenuhan HAM dalam upaya penanggulangan isu tersebut demi pengarusutamaan HAM dalam mitigasi perubahan iklim.
Chloryne membandingkan upaya Indonesia dengan praktik mitigasi perubahan iklim di Fiji yang secara tegas menggunakan pendekatan HAM dalam kebijakannya untuk melakukan relokasi terencana bagi penduduk terdampak bencana dan perubahan iklim.
“Fiji mengupayakan agar proses relokasi tetap menghormati dan melindungi HAM penduduk dengan, antara lain, mengedepankan transparansi, audiensi publik, dan pemenuhan HAM relevan, seperti hak atas air, hak atas lingkungan yang sehat dan bersih, dan hak atas tempat tinggal yang layak,” katanya.
Sementara itu, Ayu Utami, yang mewakili BNPB sebagai salah satu pemapar, menyampaikan bahwa Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2020-2024 (RENAS PB) dapat menjadi salah satu sarana atau pintu masuk bagi pendekatan HAM dalam penanggulangan dampak perubahan iklim dan bencana.
Karena RENAS PB telah mencantumkan upaya penanggulangan bencana (disaster management) dalam situasi normal (pre-disaster), pada saat bencana, dan post disaster, seperti melalui sistem peringatan dini (early warnings system) dan upaya tanggap bencana.
“RENAS PB juga sudah mencantumkan berbagai kategori HAM, seperti hak hidup dan hak atas penghidupan yang layak dalam proses disaster management,” ujarnya. ***