Lifestyle
Profil Buya Hamka, Ulama dan Sastrawan dari Tanah Minang
Film Buya Hamka yang tayang pertamakali pada tanggal 9 April 2023 lalu, mendapat banyak pujian yang luar biasa dari para penonton.
Film yang diproduksi Falcon Picture dan Starvisionini sudah mencapai 1.287.689 penonton, dikutip dari Asumsisultra.com, (28/5/2023).
Sobat Gen Z penasaran gak sih, siapa sebenarnya sosok Buya Hamka itu. Simak yuk profilnya.
Profil Buya Hamka
Buya Hamka memiliki nama asli Abdul Malik Karim Amrullah. Ia merupakan putra dari Dr. Syaikh Abdulkarim Amrullah dan Siti Shafiyah.
Buya Hamka lahir di Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada 17 Februari 1908.
Sejak kecil, Buya Hamka itu sudah terbiasa mendengar perdebatan-pedebatan yang sengit antara kaum muda dan kaum tua tentang paham-paham agama.
Saat berusia 10 tahun, ayahnya mendirikan pondok pesantren di Padang Panjang dengan nama “Sumatera Thawalib”. Di sana, Hamka sering menyaksikan kegiatan ayahnya menyebarkan paham-paham agama.
Pada Akhir tahun 1924, saat Buya Hamka berumur 16 tahun, Ia merantau ke Yogyakarta. Di sana, dia berkenalan dan belajar dengan banyak tokoh pergerakan Islam modern, seperti: H.O.S. Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M. Soerjopranoto, dan H. Fakhruddin. Dari merekalah, Buya Hamka mengenal perbandingan antara Politik Islam, diantaranya: Syarikat Islam dan Gerakan Muhammadiyah.
Setelah satu tahun berada di Jawa, Buya Hamka kembali ke Padang Panjang dan mendirikan Tabligh Muhammadiyah di rumah ayahnya.
Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1927, Buya Hamka memutuskan untuk pergi ke Makkah dan menetap selama 7 bulan.
Selama di Makkah itu, Buya Hamka belajar Bahasa Arab. Di sana, Buya Hamka juga bertemu dengan Agus Salim, tokoh intelektual dan jurnalis yang sama-sama berasal dari Minang.
Agus Salim sempat menyarankan ke Buya Hamka, untuk lebih baik kembali ke Indonesia dan mengembangkan karirnya di sana.
Akhirnya, Buya Hamka memutukan untuk kembali ke Indonesia setelah tujuh bulan berada di Makkah. Namun, Buya Hamka tidak kembali pulang ke Padang Panjang, melainkan ke Medan.
Di medan, Buya Hamka bekerja sebagai penulis di harian Pelita Andalas. Di tempat itu menandai awal mulanya kiprah Buya Hamka sebagai jurnalis dan penulis.
Karir Politik Buya Hamka
Setelah menikah dengan Siti Raham pada 5 April 1929. Buya Hamka lebih aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah. Kemudian, ia diangkat menjadi Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang.
Karirnya tidak berhenti di situ, Buya Hamka kemudian terjun ke dunia politik dan bergabung dengan Partai Masyumi.
Pada Pemilu 1955, Buya Hamka terpilih sebagai anggota Konstituante. Buya Hamka sempat menolak gagasan Demokrasi Terpimpin yang dikemukakan oleh Soekarno.
Pada tahun 1964, Buya Hamka sempat dipenjara karena dituduh bersekongkol dengan Malaysia untuk menggulingkan pemerintah Indonesia dan membunuh Presiden Soekarno.
Saat itu, tuduhan tersebut oleh banyak pihak dianggap mengada-ngada. Ditambah, Buya Hamka ditahan tanpa proses hukum dan baru dibebaskan pada awal 1966.
Setelah bebas, Buya Hamka menjalani aktivitas sebagai ulama dan pendakwah.
Buya Hamka terpilih menjadi ketua umum Majelis Ulama Indonesia pada tahun 1975 dan menjabat selama 5 tahun.
Buya Hamka wafat pada 24 Juli 1981, dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.