News
Redam Amukan Netizen, Akademisi UNPAD Sarankan Pemerintah Lakukan Langkah Ini Untuk PSE Privat
BANDUNG, GENZPEDIA – Ada banyak permasalahan tentang moderasi konten dan internet yang kompleks. Setidaknya tidak hanya tentang ekosistem internet yang jadi persoalan, tapi banyak lagi persoalan yang berkaitan.
“Salah satunya tentang adanya masalah ketidakadilan karena perusahaan internet itu mendapatkan keuntungan luar biasa besar dari iklan, sementara negara yang menyediakan infrastrukturnya malah tidak mendapatkan benefit,” kata Ketua Departemen Hukum Teknologi Informasi, Komunikasi, dan Kekayaan Intelektual (TIK-KI) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, DR. Sinta Dewi, S.H., LL.M, ketika dihubungi pada Senin 18 Juli 2022.
Dikatakan Sinta, regulasi itu berupaya mengatur ekosistem internet dari perusahaan digital swasta dan asing. Hal itu termasuk masalah moderasi internet secara global yang bervariasi yang juga berkaitan dengan tanggung jawab internet intermediari. “Perusahaan digital ini, kemudian berkembang menjadi perusahaan on the top (OTT). Tapi dia nyantel ke dalam suatu negara tanpa menyediakan infrastruktur. Malah negara yang menyediakan infrastruktur itu,” ujarnya.
Regulasi Kominfo itu, lanjut Sinta, merupakan upaya pemerintah memberikan pengawasan termasuk soal pajak dan konten. Selain itu, bicara juga masalah kedaulatan karena memiliki yurisdiksi untuk mengatur.
“Dengan perusahaan swasta dan asing mendaftar, nantinya akan ada kontrol, misalnya terhadap konten agar tidak melanggar undang-undang. Akan ada titik taut, sehingga kalau terdaftar bisa kena aturan-aturan nasional Indonesia. Dapat mempermudah penegakan hukumnya.
Sinta menyebutkan pendaftaran itu tidak hanya diberlakukan oleh Indonesia, negara lain juga melakukan hal yang sama dengan keketatan bervariasi. Contohnya ada yang tidak kena hukuman, tapi diimbau untuk mengatur informasi yang ada dalam platformnya. Ada juga yang keras, seperti Jerman, India, Brazil, dan Perancis, yang mengharuskan media sosial men-take down, bila ada konten yang melanggar.
“Memang aturan ini muncul karena masifnya berita hoax secara global,” ujarnya.
Aturan penutupan media sosial juga, pastinya akan memantik amarah netizen yang sudah bergantung terhadap media sosial.
Pemblokiran itu berhadapan dengan prinsip untuk mendapatkan informasi. Kalangan netizen merasa keberatan sehingga membuat petisi yang menolak keputusan untuk memblokir karena akan mengganggu banyak aktifitas karena kita sangat tergantung pada internet dan media sosial.
“Oleh karena itu, pemerintah bisa menggunakan pendekatan lain. Karena pada dasarnya pemerintah dan perusahaan tersebut memang saling membutuhkan. Pada dasarnya, harus ada kolaborasi antara keduanya,” kata Sinta.
Apalagi Indonesia yang merupakan pengguna terbesar, akan memberikan kerugian terhadap Facebook ketika diblokir.
“Karena saling membutuhkan, kolaborasi agar semua mendapatkan benefit. Dua-duanya saling membutuhkan. Pemerintah juga untuk berhubungan dengan masyarakat menggunakan sosial media. Bisa diselesaikan dengan saling pengertian dan pendekatan bahwa mereka saling membutuhkan,” ucap Sinta.***