Opini

Krisis Etika Pejabat Negara

Published

on

Viral lagi, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Diktisaintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro diduga memecat secara sepihak dan menampar salah satu pegawainya.

Rekaman tersebut bahkan beredar luas. Hingga beberapa pegawainya melakukan aksi unjuk rasa. Menteri tersebut dijuluki: Menteri pemarah.

Satu kata yang terbesit dalam benak penulis ketika mendengar hal itu dari media: Arogan!

Ya itu arogan. Simple saja, sebagai pejabat hal tersebut seharusnya tidak boleh terjadi. Dapat merusak integritas. Harus memberikan perilaku yang baik.

Pelanggaran etika yang dilakukan pejabat tentu bukan barang baru. Seperti konflik kepentingan, penyalahgunaan wewenang, atau tindakan korupsi masih sering terjadi.
Padahal, berapa banyak masyarakat Indonesia yang menaruh harapan besar kepada para pejabat negara.

Pejabat negara harus pandai mengontrol diri karena dalam dirinya melekat jabatan yang luar biasa.

Selain itu, pejabat negara juga harus punya ide dan gagasan. Apa yang akan dia lakukan untuk kesejahteraan masyarakat jika gagasan saja tidak mempuni?

Maka itu, ketika ada pejabat negara yang melanggar etika, seharusnya tahu diri dan mengajukan pengunduran diri dari jabatannya. 

Penulis ingin mengulas ke belakang. Banyak menteri terdahulu yang bisa menjadi sosok suri tauladan.

Lihat Menteri Hoegeng. Gus Dur mengenangnya dalam sebuah jokes: Hanya ada tiga polisi yang tidak bisa disuap yakni patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng. Sebelum jadi kapolri, Hoegeng Imam Santoso pernah menjabat sebagai Menteri Iuran Negara di era Sukarno.

Hoegeng punya integritas, dikenal sebagai sosok yang jujur, sederhana, dan tegas. Bahkan dikenal sebagai orang yang anti suap. Bukan pemarah.

Selain hoegeng, Ada agus salim yang penuh kesederhanaan. Atau kita bisa lihat Sutami. Menteri Pekerjaan Umum yang menjabat di dua rezim. Empat kali dilantik jadi menteri tapi dikenal sebagai menteri termiskin di Indonesia.

Tokoh-tokoh tersebut tidak arogan dengan jabatanya. Tidak memeperkaya diri juga.

Jadi, jika hari ini kita tidak menemukan sosok keteladanan, mari kita kembali membahas sejarah. Menghidupkan mereka yang sudah mati.

Menghidupkan kembali mereka lewat kisah dan pemikiranya, supaya kita jadikan rujukan sebagai inspirasi dalam kehidupan.

*Ditulis oleh: Ade Firdiansyah. Konten Kreator Edukasi.

Bagikan ini

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Trending

Exit mobile version